AKHIR
YANG INDAH
“Teng..teng..teng..”
Bel tanda masuk sekolah telah berbunyi. Para siswa disekolahku berhamburan
memasuki kelas masing-masing. Rupanya upacara hari senin ditiadakan karena
lapangan sekolah tampak sepi pagi itu. Aku segera menempati meja dan bangkuku.
Aku siap memulai hariku dan menerima pelajaran yang disampaikan oleh bapak ibu
guru disekolah.
Pelajaran
pertama di kelasku adalah Bahasa Indonesia. Seperti biasa Bu Lilik, guru Bahasa
Indonesiaku, mengajarkan pelajaran dengan senyuman indah yang selalu terlukis
diwajahnya sehingga membuat pelajaran menjadi tidak membosankan. Topik bahasan
kali ini adalah menulis cerpen berdasarkan pengalaman pribadi. Terlebih dahulu
Bu Lilik menjelaskan ciri-ciri dari sebuah karangan cerpen dan bagaimana cara
yang mudah dalam menulisnya. Siswa di kelasku tampak antusias mendengarkan
penjelasan yang disampaikan beliau.
Dua
jam pelajaran berlalu. Pelajaran Bahasa Indonesia akan segera diakhiri. Bu
Lilik memberikan tugas kepada siswa kelasku untuk menulis cerpen dengan tema
yang tidak ditentukan dan tugas itu akan dikumpulkan pada hari senin depan. Bagiku
menulis cerpen merupakan hal yang baru dalam hidupku karena sebelumnya aku
belum pernah membuatnya. Sebagai pemula kendalanya pasti pada ide dan bingung
memilih kata-kata yang pas digunakan.
Tak
terasa waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Pelajaran di sekolah telah
berakhir. Aku merasa lelah saat itu.
Pikiranku melayang entah kemana. Aku merasa bosan dengan tugas sekolah yang
semakin hari semakin menumpuk. Mengingat tugas yang disampaikan oleh Bu Lilik
tadi pagi, semakin membuatku bingung menentukan pokok bahasan dalam menulis
cerpen.
“Huh..kapan
ya liburnya? Apa mungkin aku menyelesaikan cerpen ini dalam waktu
seminggu?” ungkapku sambil mengusap
wajahku dengan telapak tangan.
“Tenang
aja, Vel. Kamu pasti bisa kok. Udah …jangan jadikan beban. Seperti penjelasan
Bu Lilik tadi, tentuin apa yang pingin kamu ceritakan kaya’ pengalamanmu pergi
ke suatu tempat atau mungkin waktu pertama kali masuk SMA trus kembangin deh
jadi sebuah cerita.” Kata Meuthia tersenyum.
Aku
mengerutkan wajahku. Benar juga apa yang dikatakan Meuthia barusan. Waktu
seminggu harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Apa salahnya mencoba. Toh
bagus tidaknya urusan terakhir, yang penting sekarang mau mencoba dulu.
“Oke.
Makasih ya sarannya. Aku pamit pulang dulu ya, Mut. Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam.
Be careful yaaa..!!”
Keesokan
harinya saat pulang sekolah, aku mencatat semua agenda tugas sekolahku yang
belum aku kerjakan. Salah satunya yang paling aku ingat yaitu menulis cerpen
bahasa Indonesia. Walaupun dikumpulkan masih seminggu lagi, tapi aku belum bisa
tenang kalau belum menyelesaikannya.
“Ya
Allah.. Gusti. Nasib pelajar ga’ pernah luput dari tugas-tugas semacam ini dan
aku belum juga menemukan ide untuk menulis cerpen.” Gumamku dalam hati.
Hari berikutnya, aku meluangkan waktu sekitar
dua jam untuk berpikir dan mencari cerita yang menarik. Namun sayangnya, “Krik
krik krik” terdengar suara janggrik begitu mengganggu konsentrasiku malam itu.
Akhirnya ku putuskan untuk tidur saja.
Sungguh menyebalkan. Waktu terbuang percuma.
Dua
hari berikutnya tepatnya hari jumat. Senangnya hari ini karena pelajaran hanya
berlangsung hingga jam 11 siang. Wajarlah sebagai pelajar penanti jam pulang. Mungkin
hari ini bisa aku gunakan untuk menenangkan pikiranku. Semoga ada malaikat yang
mau membantuku dalam menyelesaikan tugas cerpenku.
Setelah
bel pulang sekolah berbunyi, aku mencari tempat yang nyaman untuk aku
mengutarakan perasaanku dalam sebuah cerpen. Sedikit berlebihan sih, tapi apa
salahnya mencoba. Aku duduk di dekat kamar mandi belakang kelasku. Nyaman
sekali rasanya. Sepi dan tenang. Namun tak lama kemudian, hujan mengguyur
sangat deras disertai angin yang cukup kencang. Udara saat itu bisa dikatakan
sangat dingin dan menyeramkan. Aku berpindah tempat menuju kantin sekolah. Tapi
aku tidak sendiri. Disana banyak teman-teman sekolah yang juga berteduh sama
sepertiku. Termasuk Fikri, teman yang memberikanku banyak inspirasi dan
semangat.
“Hei
Fik. Tumben belum pulang?” sapaku sambil menepuk pundaknya.
“Iya
Vel. Tadi sholat Jumat dulu di sekolah. Eh pas mau pulang kok cuaca ngeri kaya’
gini. Wah terpaksa ga’ pulang dulu deh.” Kata Fikri mengalihkan pandangannya
kepadaku.
“Lha
kamu ko belum pulang juga? Atau jangan-jangan ga’ punya uang buat pulang ya? hahaha.” tambahnya dengan tawa meledek .
“Ih
nggak kok. enak saja!!.” Aku memukul bahunya dengan sedikit tekanan. ” Eh Fik,
aku lagi bingung nih. Ada tugas bahasa Indonesia menulis cerpen dan aku belum
juga menentukan hal apa yang pingin aku ceritakan.” Kataku tersenyum.
“Hahaha..makannya
belajar! Jangan makan tidur makan tidur terus.”
“Fik,
aku serius ini.”
“Gini
aja, apa yang lagi kamu rasain?”
“Dingin
Fik.” Kataku dengan wajah polos.
“Aku
serius juga ini, Vel. Maksudku apa yang membuat mengganjal dihatimu mungkin itu
bisa dijadikan cerita dalam cerpenmu.”
“Hmm
apa ya??” sejenak aku berpikir. “Tetooot….Oh aku tau. Mungkin aku bisa
menceritakan pengalamanku betapa susahnya dalam memukan ide untuk menulis
cerpen.”
“Wah
boleh juga itu Vel. Nah itu kamu bisa. Tapi sedikit konyol kedengarannya. Tapi
ga’ masalah sih. Tinggal bagaimana kamu mengembangakan cerita itu tadi menjadi
sebuah cerita yang lebih menarik. Aku yakin kamu pasti bisa. Bikin kerangkanya
dulu kalau kamu masih merasa kesulitan. Susun urutan ceritanya trus kembangin.
Selesai deh.”
Saran
yang disampaikan Fikri bisa aku tangkap dengan baik.
“Oke
aku memulainya.” Sahutku bersemangat.
Aku
mengambil tempat duduk yang nyaman di kantin. Ada Fikri disampingku. Ia
menemani aku dalam menulis cerpen. Lumayanlah ada temannya. Segera aku
merangkai kata demi kata dalam kertas yang telah aku siapkan di atas meja.
Entah apa yang aku rasakan, aku tuangkan dalam kertas itu. Sekitar tiga puluh
menit, aku menghabiskan dua lembar kertas folio bergaris berwarna putih. Hingga
tak terasa hujan mulai reda. Mungkin cerita ini sudah melampaui cukup.
“Sudah
Vel?” Tanya Fikri yang hampir tertidur pulas
“Sudah
Fik. Wah makasih ya atas saran yang kamu berikan padaku. Ga percuma punya teman
sepertimu.” Kataku sambil melemparkan senyum pada sosok anak laki-laki yang
memakai jaket merah itu.
“Wah
keren. Cepat sekali kamu mengerjakannya. Pulang yuk. Uda reda nih.” Ungkapnya
sambil mengambil tas yang sejak tadi Ia taruh diatas meja.
“Siap
bos. Mari pulaaaang !!!”
Aku
berdiri dari tempatku semula dan mencubit pipi Fikri. Kemudian aku berlari
menuju gerbang sekolah. Fikri mengejarku dari belakang. Ia seperti orang mabuk.
Terlihat ngantuk sekali matanya. Kasihan sekali. Kemudian kami pulang ke rumah
masing-masing.
“Alhamdulillah.
Terima kasih Ya Allah..selesai juga cerpennya. Di rumah perlu dibaca ulang
lagi. Mungkin ada yang sedikit perbaiki. Terima kasih Fikri. Terima kasih bu
Lilik atas tugasnya.” Kataku lega.
SELESAI :)
by : rovilla amalia . 14 mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar