Rabu, 07 Maret 2012

Cerpen in A Reality


AKHIR YANG INDAH

“Teng..teng..teng..” Bel tanda masuk sekolah telah berbunyi. Para siswa disekolahku berhamburan memasuki kelas masing-masing. Rupanya upacara hari senin ditiadakan karena lapangan sekolah tampak sepi pagi itu. Aku segera menempati meja dan bangkuku. Aku siap memulai hariku dan menerima pelajaran yang disampaikan oleh bapak ibu guru disekolah.
Pelajaran pertama di kelasku adalah Bahasa Indonesia. Seperti biasa Bu Lilik, guru Bahasa Indonesiaku, mengajarkan pelajaran dengan senyuman indah yang selalu terlukis diwajahnya sehingga membuat pelajaran menjadi tidak membosankan. Topik bahasan kali ini adalah menulis cerpen berdasarkan pengalaman pribadi. Terlebih dahulu Bu Lilik menjelaskan ciri-ciri dari sebuah karangan cerpen dan bagaimana cara yang mudah dalam menulisnya. Siswa di kelasku tampak antusias mendengarkan penjelasan yang disampaikan beliau.
Dua jam pelajaran berlalu. Pelajaran Bahasa Indonesia akan segera diakhiri. Bu Lilik memberikan tugas kepada siswa kelasku untuk menulis cerpen dengan tema yang tidak ditentukan dan tugas itu akan dikumpulkan pada hari senin depan. Bagiku menulis cerpen merupakan hal yang baru dalam hidupku karena sebelumnya aku belum pernah membuatnya. Sebagai pemula kendalanya pasti pada ide dan bingung memilih kata-kata yang pas digunakan.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Pelajaran di sekolah telah berakhir.  Aku merasa lelah saat itu. Pikiranku melayang entah kemana. Aku merasa bosan dengan tugas sekolah yang semakin hari semakin menumpuk. Mengingat tugas yang disampaikan oleh Bu Lilik tadi pagi, semakin membuatku bingung menentukan pokok bahasan dalam menulis cerpen.
“Huh..kapan ya liburnya? Apa mungkin aku menyelesaikan cerpen ini dalam waktu seminggu?”  ungkapku sambil mengusap wajahku dengan telapak tangan.
“Tenang aja, Vel. Kamu pasti bisa kok. Udah …jangan jadikan beban. Seperti penjelasan Bu Lilik tadi, tentuin apa yang pingin kamu ceritakan kaya’ pengalamanmu pergi ke suatu tempat atau mungkin waktu pertama kali masuk SMA trus kembangin deh jadi sebuah cerita.” Kata Meuthia tersenyum.
Aku mengerutkan wajahku. Benar juga apa yang dikatakan Meuthia barusan. Waktu seminggu harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Apa salahnya mencoba. Toh bagus tidaknya urusan terakhir, yang penting sekarang mau mencoba dulu.
“Oke. Makasih ya sarannya. Aku pamit pulang dulu ya, Mut. Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam. Be careful yaaa..!!”
Keesokan harinya saat pulang sekolah, aku mencatat semua agenda tugas sekolahku yang belum aku kerjakan. Salah satunya yang paling aku ingat yaitu menulis cerpen bahasa Indonesia. Walaupun dikumpulkan masih seminggu lagi, tapi aku belum bisa tenang kalau belum menyelesaikannya.
“Ya Allah.. Gusti. Nasib pelajar ga’ pernah luput dari tugas-tugas semacam ini dan aku belum juga menemukan ide untuk menulis cerpen.” Gumamku dalam hati.
 Hari berikutnya, aku meluangkan waktu sekitar dua jam untuk berpikir dan mencari cerita yang menarik. Namun sayangnya, “Krik krik krik” terdengar suara janggrik begitu mengganggu konsentrasiku malam itu. Akhirnya ku putuskan untuk tidur saja.  Sungguh menyebalkan. Waktu terbuang percuma.
Dua hari berikutnya tepatnya hari jumat. Senangnya hari ini karena pelajaran hanya berlangsung hingga jam 11 siang. Wajarlah sebagai pelajar penanti jam pulang. Mungkin hari ini bisa aku gunakan untuk menenangkan pikiranku. Semoga ada malaikat yang mau membantuku dalam menyelesaikan tugas cerpenku.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku mencari tempat yang nyaman untuk aku mengutarakan perasaanku dalam sebuah cerpen. Sedikit berlebihan sih, tapi apa salahnya mencoba. Aku duduk di dekat kamar mandi belakang kelasku. Nyaman sekali rasanya. Sepi dan tenang. Namun tak lama kemudian, hujan mengguyur sangat deras disertai angin yang cukup kencang. Udara saat itu bisa dikatakan sangat dingin dan menyeramkan. Aku berpindah tempat menuju kantin sekolah. Tapi aku tidak sendiri. Disana banyak teman-teman sekolah yang juga berteduh sama sepertiku. Termasuk Fikri, teman yang memberikanku banyak inspirasi dan semangat.
“Hei Fik. Tumben belum pulang?” sapaku sambil menepuk pundaknya.
“Iya Vel. Tadi sholat Jumat dulu di sekolah. Eh pas mau pulang kok cuaca ngeri kaya’ gini. Wah terpaksa ga’ pulang dulu deh.” Kata Fikri mengalihkan pandangannya kepadaku.
“Lha kamu ko belum pulang juga? Atau jangan-jangan ga’ punya uang buat pulang ya? hahaha.”  tambahnya dengan tawa meledek .
“Ih nggak kok. enak saja!!.” Aku memukul bahunya dengan sedikit tekanan. ” Eh Fik, aku lagi bingung nih. Ada tugas bahasa Indonesia menulis cerpen dan aku belum juga menentukan hal apa yang pingin aku ceritakan.” Kataku tersenyum.
“Hahaha..makannya belajar! Jangan makan tidur makan tidur terus.”
“Fik, aku serius ini.”
“Gini aja, apa yang lagi kamu rasain?”
“Dingin Fik.” Kataku dengan wajah polos.
“Aku serius juga ini, Vel. Maksudku apa yang membuat mengganjal dihatimu mungkin itu bisa dijadikan cerita dalam cerpenmu.”
“Hmm apa ya??” sejenak aku berpikir. “Tetooot….Oh aku tau. Mungkin aku bisa menceritakan pengalamanku betapa susahnya dalam memukan ide untuk menulis cerpen.”
“Wah boleh juga itu Vel. Nah itu kamu bisa. Tapi sedikit konyol kedengarannya. Tapi ga’ masalah sih. Tinggal bagaimana kamu mengembangakan cerita itu tadi menjadi sebuah cerita yang lebih menarik. Aku yakin kamu pasti bisa. Bikin kerangkanya dulu kalau kamu masih merasa kesulitan. Susun urutan ceritanya trus kembangin. Selesai deh.”
Saran yang disampaikan Fikri bisa aku tangkap dengan baik.
“Oke aku memulainya.” Sahutku bersemangat.
Aku mengambil tempat duduk yang nyaman di kantin. Ada Fikri disampingku. Ia menemani aku dalam menulis cerpen. Lumayanlah ada temannya. Segera aku merangkai kata demi kata dalam kertas yang telah aku siapkan di atas meja. Entah apa yang aku rasakan, aku tuangkan dalam kertas itu. Sekitar tiga puluh menit, aku menghabiskan dua lembar kertas folio bergaris berwarna putih. Hingga tak terasa hujan mulai reda. Mungkin cerita ini sudah melampaui cukup.
“Sudah Vel?” Tanya Fikri yang hampir tertidur pulas
“Sudah Fik. Wah makasih ya atas saran yang kamu berikan padaku. Ga percuma punya teman sepertimu.” Kataku sambil melemparkan senyum pada sosok anak laki-laki yang memakai jaket merah itu.
“Wah keren. Cepat sekali kamu mengerjakannya. Pulang yuk. Uda reda nih.” Ungkapnya sambil mengambil tas yang sejak tadi Ia taruh diatas meja.
“Siap bos. Mari pulaaaang !!!”
Aku berdiri dari tempatku semula dan mencubit pipi Fikri. Kemudian aku berlari menuju gerbang sekolah. Fikri mengejarku dari belakang. Ia seperti orang mabuk. Terlihat ngantuk sekali matanya. Kasihan sekali. Kemudian kami pulang ke rumah masing-masing.
“Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah..selesai juga cerpennya. Di rumah perlu dibaca ulang lagi. Mungkin ada yang sedikit perbaiki. Terima kasih Fikri. Terima kasih bu Lilik atas tugasnya.” Kataku lega.
SELESAI :)


by : rovilla amalia . 14 mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar